KARYA ILMIAH
Teknologi Informasi dan Komunikasi
" Perkembangan Teknologi Informasi di dunia Pendidikan Indonesia"
" Perkembangan Teknologi Informasi di dunia Pendidikan Indonesia"
Disusun oleh:
Titin wahyuni
XII
IPS2
MA. SUMBER BUNGUR
KECAMATAN PAKONG KABUPATEN
PAMEKASAN
Tahun Pelajaran 2014/2015
Kata pengantar
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan karya
ilmiyah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada guru pembimbing dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan karya ilmiyah
ini yang
berjudul “perkembangan IT di dunia pendidikan Indonesia”.
Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya karya
ilmiyah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman. Amin
Pakong, 22 November 2014
Penulis
Titin Wahyuni
DAFTAR ISI
Cover ......................................................................................................
Kata pengantar........................................................................................
Daftar Isi.................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang............................................................................
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................
1.3
Tujuan..........................................................................................
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
Citra Pendidikan.........................................................................
2.2 Teknologii Informasi...................................................................
2.3 Hubungan teknologi Informasi Dalam Citra pendidikan dengan
Masyarakat Di Indonesia............................................................
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan..................................................................................
3.2
Saran............................................................................................
Daftar pustaka........................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Teknologi informasi mempunyai
pengaruh yang besar dalam berbgai aspek kehidupan masyarakat karena teknologi
informasi sudah menjadi bagian dari hidup yang sangat penting. Dunia
pendidikan, pemerintahan, bisnis dan usaha, sampai kesehatan dan kebutuhan
harian masyarakat pun membutuhkan keberadaan informasi dan komunikasi.
Transaksi-transaksi yang
berbasis teknologi informasi sejalan dengan laju pertumbuhan internet. Seiring
dengan maraknya penggunaan internet yang dibutuhkan pengguna, banyak
aplikasi-aplikasi baru bermunculan. Secara khusus hal ini sangat nyata terlihat
dalam kegiatan bisnis, usaha, terutama dalam citra pendidikan.
Citra pendidikan adalah kesan
yang ditimbulkan menurut pengetahuan dan pengertian publik dalam bidang
pendidikan. Hal ini memiliki kaitan yang sangat erat antara masyarakat dan
teknologi informasi.
Dengan perkembangan teknologi
informasi yang tak mungkin dibendung, jenis kebijakan tentang pendidikanmelalui
TV dan film tampaknya perlu dipikirkan dengan benar. Jika kita meyakini bahwa
pendidikanmerupakan sebuah cara paling kuat untuk mengubah struktur budaya
masyarakat, kebutuhan untuk menggunakan media massa seperti TV, film, internet,
dan surat kabar/majalah dalam rangka menjaga proses terjadinya transplantasi
budaya secara benar adalah imperative. Selain itu, kebijakan tentang jenis
tayangan yang salah akan mempercepat terjadinya proses inflitrasi budaya satu
ke budaya lainnya secara intensif dan dapat menyebabkan terjadinya penghapusan
budaya (cultural genocide) secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, saya akan
membahas bagaimana hubungan teknologi informasi dengan citra pendidikan bagi
masyarakat di indonesia.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang
di atas, masalah yang dirumuskan dan akan di bahas dalam makalah ini adalah
hubungan antara masyarakat dengan teknologi informasi dalam bidang citra
pendidikan. Apakah benar hal ini berkaitan, bagaimanakah kondisi citra
pendidikan di indonesia seiring berkembangnya teknologi informasi dan
komunikasi yang semakin maju, dan antisipasi untuk menghindarkan hal-hal yang
negatif dan menggantinya menjadi hal yang positif bagi masyarakat.
1.3 Tujuan
adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini, yaitu :
1. Apakah citra pendidikan di
Indonesia berjalan dengan baik?
2. Bagaimana pengaruh teknologi
informasi bagi masyarakat di indonesia?
3. Apakah hubungan antara
teknologi informasi dan citra pendidikan masyarakat di indonesia?
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Citra Pendidikan
Salah satu kebutuhan penting
manusia adalah pendidikan, pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang kehidupan.
Tanpa pendidikan, manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang.
Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan
manusia yang berkualitas dan mampu bersinergi dengan zaman (bukan bersaing),
manusia pada dasarnya adalah ciptaan Tuhan tanpa persaingan karena memiliki
budi pekerti yang luhur dan moral yang baik untuk menjunjung tinggi kehidupan
yang damai, bersaudara dan saling kasih mengasihi, dan berkorelasi antara
menolong dan di tolong.
Mempertimbangkan pendidikan
generasi sekarang sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati
seorang anak (peserta pendidikan) bagaikan sebuah plat fotografik, kerangka
kosong yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan
padanya. Sehingga penting bagi pengajar untuk memahami dan mendeskripsikan apa
yang seharusnya di isikan terhadap peserta didik. Tentunya dengan platform budi
pekerti luhur.
Empat pilar pendidikan masa
depan yang di sunting berdasarkan rancangan UNESCO dan perlu dikembangkan oleh
lembaga pendidikan di Indonesia, Pertama, learning to Know. Konsep pertama ini
diproyeksikan untuk memberikan pemahaman sekedar mengetahui sebagai prospek
pertama kali dalam belajar. atau sekedar mendengarkan, artinya tugas guru lah
yang menyampaikan materi pengajaran dengan benar (fasilitator), tanpa distorsi
materi dan harus memiliki penguasaan yang mapan. Kedua, learning to do. Setelah
konsep pertama tercapai maka beralih pada level yang lebih practically, yaitu
belajar dengan cara mempraktekan apa yang telah di ajarkan dalam konsep pertama
(belajar untuk melakukan sesuatu). dalam hal ini kita dituntut untuk terampil.
Ketiga, learning to be. Pada level ini diharapkan peserta pendidikan mampu
menjadikan dirinya sebagai agent dari generasinya, mampu menelaah fenomena
sekitar dengan mengandalkan pemikiran yang bijaksana. Keempat, learning to live
together. Konsep terakhir ini menawarkan bagaimana peserta didik sudah bukan
lagi dalam tahap menerima, akan tetapi sudah pada tingkatan bermfaat bagi
manusia lainnya.
2.2 Teknologi Informasi
Pada awal sejarah, manusia
bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi, bahasa
memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain.
Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan sebentar
saja, yaitu hanya pada saat si pengirim menyampaikan informasi melalui
ucapannya itu saja. Setelah ucapan itu selesai, maka informasi yang berada di tangan
si penerima itu akan dilupakan dan tidak bisa disimpan lama. Selain itu
jangkauan suara juga terbatas. Untuk jarak tertentu, meskipun masih terdengar,
informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan terdegradasi bahkan hilang
sama sekali.
Setelah itu teknologi
penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Dengan gambar jangkauan
informasi bisa lebih jauh. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada
orang lain. Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama. Beberapa
gambar peninggalan zaman purba masih ada sampai sekarang sehingga manusia
sekarang dapat (mencoba) memahami informasi yang ingin disampaikan pembuatnya.
Ditemukannya alfabet dan angka
arabik memudahkan cara penyampaian informasi yang lebih efisien dari cara yang
sebelumnya. Suatu gambar yang mewakili suatu peristiwa dibuat dengan kombinasi
alfabet, atau dengan penulisan angka, seperti MCMXLIII diganti dengan1943.
Teknologi dengan alfabet ini memudahkan dalam penulisan informasi itu.
Kemudian, teknologi percetakan
memungkinkan pengiriman informasi lebih cepat lagi. Teknologi elektronik
seperti radio, televisi, komputer mengakibatkan informasi menjadi lebih cepat
tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan.
2.3 Hubungan Teknologi
Informasi Dalam Citra Pendidikan Dengan Masyarakat Di Indonesia.
Dua pertanyaan penting yang
sedikit terlihat kalut ditunjukkan Mendiknas dalam menanggapi tersebarnya video
porno artis hingga ke ujung negeri. Pertama, Mendiknas tak setuju
denganpendidikan seks dan, kedua, meminta kepada semua kepala sekolah di
seluruh Indonesia untuk setiap saat merazia isi telepon seluler para siswa
karena khawatir dengan penyebaran video porno. Jelas sekali kedua pernyataan
tersebut memperlihatkan jenis pendekatan yang reaktif seorang menteri ketimbang
proaktif. Di tengah ketidakmampuan birokrasi dan para guru kita dalam mendesain
dan mengajarkan dokumen tertulis kurikulum secara benar, kasus video porno
jelas merupakan peringatan terhadap jajaran Kemendiknas untuk lebih inovatif
dan kreatif dalam mendistribusi kebutuhan virtue terhadap setiap mata ajar yang
dipelajari siswa di sekolah.
Keruntuhan citra pendidikan
Jelas sekali beredarnya video
porno artis merupakan tamparan hebat terhadap citra pendidikan di Tanah Air.
Tak tahu di mana mereka dulu bersekolah, jika memang benar pelakunya adalah
artis yang diduga ternama. Hal itu menunjukkan adanya sikap hidup hedonis dan
rendahnya moralitas artis akibat pendidikan yang salah bisa jadi merupakan
salah satu penyebab. Artis, melaui teknologi informasi, bukan saja menjadi
faktor pendorong runtuhnya moralitas anak muda, melainkan sekaligus merupakan
korban dari arus teknologiinformasi yang tanpa kontrol.
Meskipun kita telah memiliki
undang-undang tentang pornografi dan teknologi informasi, paradigma perkembangan
teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi
dan peredaran film jelas harus dicermati secara saksama oleh para pengambil
kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan massal
paling efektif, tayangan televisi, film dan penggunaan internet memiliki
peluang untuk mengubah tatanan budaya bangsa yang dikenal santun dan beradab ke
arah yang kurang beradab dan tak mengenal tata krama. Dighe (2000)
mengisyaratkan baik konten maupun rancangan program tayangan dalam bentuk film,
video, dan musik bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas
budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik.
Hasil riset menunjukkan dampak
tayangan televisi, film, dan penyebaran video porno melalui internet juga
menambah terjadinya praktik kekerasan, mistisisme, dan hura-hura ala sinetron.
Bahkan jika semua fakultas psikologi di Indonesia mau dengan sukarela meriset
kondisi mental siswa-siswi di sekolah, pastilah akan didapati banyak sekali
anak usia sekolah yang mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam bahasa
seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan yang
terlalu memamerkan kekerasan dan erotisme sangat tidak mendidik dan dapat
menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi,
bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah ke arah yang tidak
sehat (Bennet: 2000; Gidley: 2000). Ketika zaman televisi masih dimonopoli
TVRI, mungkin peran pendidik (gurudan orang tua) tak terlalu berat dan melelahkan.
Di samping jenis tayangan memang masih terbatas, bentuk tayangan juga masih
mempertimbangkan aspek budaya lokal tiap daerah di Indonesia. Tayangan Si
Unyil, drama Losmen, dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) begitu digemari dan
menjadi rujukan para guru di sekolah dan orang tua di rumah.
Dapat dibayangkan betapa berat
dan sulitnya para guru dan orang tua untuk berlomba kreativitas dengan tayangan
elektronik ini.
Karena itulah, beberapa hasil
riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi
terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses
belajar-mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills
seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning. Jika hal itu lalai
dibangun, keruntuhan citra pendidikan di Indonesia akan semakin menjadi-jadi;
tidak hanya kerusakan di bidang akademis, tetapi dalam waktu bersamaan juga
terjadi kerusakan moral secara masif.
Memanfaatkan budaya populer
Adalah naif dan tidak mungkin
rasanya menolak budaya populer dan trend setter gaya hidup serbahedonis yang
setiap hari secara terbuka ditayangkan dalam bentuk film, musik, video, dan
komik/majalah. Yang paling mungkin dilakukan adalah menghidupkan kesadaran
kritis para pendidik untuk memaksimalkan bentuk-bentuk tayangan tersebut
sebagai tools dalam proses belajar-mengajar. Keberanian untuk menggunakan
berbagai macam jenis tayangan sebagai bahan ajar juga harus dikembangkan
sedemikian rupa, bahkan termasuk mendiskusikan hal-hal yang tabu seperti
masalah seks dan kekerasan. Harus kita yakini bahwa tayangan baik dalam bentuk
film, video, musik, maupun komik atau fiksi terpilih dan pantas secara sadar
harus mampu digunakan para guru dalam proses belajar-mengajar. Ada banyak film
semisal Pay It Forward atau Freedom Writers yang layak diputar dan didiskusikan
di ruang kelas dengan anak-anak kita yang sedang beranjak dewasa (tingkat
menengah).
Sebagai salah satu bentuk
pedagogis bergerak yang secara langsung dapat merefleksikan dunia nyata, film
dapat merangsang siswa untuk mendiskusikan banyak sekali isu tentang ras,
kelas, gender, kekerasan, dan orientasi seksual manusia. Karena itu,
menggunakan film sebagai salah satu bahan ajar merupakan jawaban bagi para
siswa yang menggemari budaya populer, tetapi dilakukan secara terbimbing di
ruang kelas. Jika hal itu dilakukan, biasanya siswa akan terlihat berani untuk
menganalisis isi film dari beragam perspektif, bahkan bisa jadi mereka memiliki
pandangan-pandangan yang unik menurut pengalaman masing-masing. Diskusi film
selalu merupakan cara yang efektif untuk melihat reaksi siswa dalam menyikapi
sebuah peristiwa dan mengambil virtue yang secara kolektif biasanya akan lebih
mudah dilakukan (Sealey: 2006).
Kebiasaan dan perilaku melarang
para guru terhadap siswa untuk tak melihat film dan video sebenarnya lebih akan
membuat siswa penasaran. Tetapi jika itu dilakukan secara bersama-sama dengan
guru dan teman mereka, proses berpikir kritis pun akan terlatih. Yang paling
baik adalah kemauan guru untuk melakukan browsing bersama siswanya dalam
mencari film dan video pembelajaran melalui Youtube.com, misalnya. Jutaan film
setiap hari dirilis ke dalam Youtube.com, tetapi jika hal itu diniatkan
sekaligus digunakan untuk tujuan pembelajaran, bisa dipastikan anak-anak akan
senang untuk berbagi perspektif. Apalagi jika guru lebih kreatif, jejaring
sosial seperti Facebook dan Twitter bahkan bisa dijadikan sebagai medium
e-learning yang dikemas untuk pola belajar tak langsung atau jarak jauh
(distance learning). Hanya, pertanyaannya, berapa banyak guru yang bisa dan mau
memanfaatkan teknologi informasi sebagai bahan ajar?
Gardner (2007) mengingatkan
para pendidik bahwa siswa perlu dibina dan dikembangkan untuk menghadapi arus
besar teknologi informasi dengan multimodal literacy skills yang sangat krusial
untuk kehidupan abad 21.
Karena itu, kemampuan guru
dalam penguasaan teknologi informasi juga merupakan tuntutan yang tidak bisa
dihindarkan dalam kebijakan pendidikan kita. Selain itu, dalam rangka
mengimbangi budaya populer yang semakin menggila, sekolah perlu dilengkapi
dengan perpustakaan digital yang mampu mengakses jutaan sumber belajar yang
berserakan di dunia maya. Masalah baru yang muncul dan dihadapi
otoritaspendidikan kita adalah mahalnya perangkat digital sekolah dan sulit dan
lamanya melatih guru untuk melekteknologi informasi.
Belum lagi tantangan dari cara
pandang tradisional yang masih menganggap teknologi informasi sebagai bentuk
berhala baru dan karena itu, sedapat mungkin harus dihindari. Sikap mental
guru/pendidik seperti itu malah tidak akan menguntungkan dunia pendidikan kita.
Karena itu, dibutuhkan mentalitas dan kapasitas akademis guru yang selalu ingin
belajar, terutama dalam membina sisi afektif dan psikomotorik siswa-siswi
mereka. Apalagi saat ini juga berkembang sebuah pendekatan baru dalam mengajar
yang diperkenalkan Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam buku Meeting
Standards through Integrated Curriculum (2004), yaitu transdisciplinary
approach. Transdisciplinary approach membutuhkan keterampilan guru yang luar
biasa untuk memandang dan mengajarkan sebuah subjek berdasarkan tema, konsep,
sekaligus keterampilan yang sesuai dengan kehidupan nyata dan minat siswa.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa citra pendidikan di Indonesia kurang berjalan dengan baik.
Hal itu ditunjukkan dari banyaknya masyarakat muda maupun tua yang terjerat
pergaulan yang kurang baik atau dapat dikatakan pergaulan bebas. Jika citra
pendidikan di indonesia sudah baik, pengaruh negatif yang di timbulkan dan di
buat oleh media-media informasi seperti radio, TV, ponsel, dan sebagainya tidak
akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Apalagi kini jaman semakin
maju dengan adanya jaringan internet. Ditambah lagi maraknya video-video porno
yang tersebar bahkan dari kalangan masyarakat Indonesia seperti video porno
artis yang telah tersebar luas bukan hanya di negeri sendiri saja.
Namun sebetulnya pengaruh
teknologi informasi bagi masyarakat di indonesia ini sudah cukup baik. Hanya
saja ada sisi lain ada hal yang dijadikan sesuatu yang negatif oleh sebagian
masyarakat terutama anak muda yang emosional dan asupan pendidikannya masih
labil.
Hubungan antara teknologi
informasi dan citra pendidikan masyarakat di indonesia sangat erat. Tanpa
teknologi informasi masyarakat tak akan bisa hidup dengan nyaman dan pendidikan
pun tidak akan berjalan dengan lancar karena kini hampir semua hal membutuhkan
teknologi. Hanya saja tergantung kita menyikapinya, bagaimana kita dapat
mengontrol diri kita sendiri untuk mempergunakan teknologi yang ada dengan
positif dan agar citra pendidikan kita pun terjaga dengan baik.
3.2
saran
· jagalah
citra pendidikan kita sendiri jangan smpai terbawa oleh pengaruh negatif dari
teknologi informasi yang semakin canggih.
· Berpikirlah
positif agar sebanyak apapun pengaruh yang di timbulkan oleh teknologi
informasi ini bisa di jadikan pelajaran berharga bukan sebagai acuan kita untuk
berbuat hal yang sama.
· Hindarilah
sebisa mungkin hal-hal yang negatif dari teknologi informasi yang semakin maju
ini agar citra pendidikan kita ataupun masyarakat di indonesia tidak rusak.
Daftar pustaka